Time Lapse

“Ibu, rambutnya saya cuci dan rapikan ya…? Mau gak rambutnya saya gunting aja? Biar ga gimbal begini?” tanyaku pada seorang pasien kanker cervix berusia 55-an tahun, yang sudah lama dirawat.

“Gak papa suster, digundul juga tidak apa-apa. Rambut saya sudah lama tidak diurus”.
“Gimana mau mengurus rambut, mengurus rasa sakit saja ga selesai-selesai. Sudah sebulan rambutnya tidak dirapikan suster”, jawab sang suami.
“Waah, pantas jadi gimbal begini”.

Sepagi itu setelah membantu mengurusi pasien code blue, aku mengambil alih tugas personal hygiene pasien tersebut. Menggunting kuku nya, mencuci rambutnya untuk kemudian memotong rambut sepunggung beliau yang sudah menggimbal. Iyaaa… Aku buka salon pagi ini. Awalnya Kepala Tim meminta adik-adik D3 Keperawatan yang melakukannya. Mereka tidak terbiasa menyuruh mahasiswa residensi untuk melakukan sesuatu. Namun aku tahu kerepotan adik-adik D3 yang masih harus keliling untuk mengukur tensi semua pasien. Kegiatan ini bisa kumanfaatkan untuk mengenal dan menganamnesis pasien lebih mendalam.

Seperti dugaan, beliau senang sekali dan lebih merasa fresh setelah rambutnya saya potong pendek *meski tidak begitu bermode dan rapi, tapi setidaknya beliau merasa nyaman, tidak lagi mengeluh tentang perutnya yang nyeri dan begah.

“Waah… Ibu tampak lebih segar dan cantik”, puji perawat lain.

“Pak, katanya punya anak laki yang lagi ambil S2 di UI, kenalin ke suster ini aja. Dia jomblo lho”.
“Iya… Saya mau ambil mantu perawat ini aja ah untuk anak laki-laki saya”, gurau suami pasien tersebut.

Aku langsung tertawa awkward. Mendapatkan candaan mau diangkat anak atau mantu oleh pasien adalah hal biasa. Bahkan ketika masih mahasiswa praktik S1, pasien pernah memberiku uang saat mereka akan pulang atau saat aku sedang melakukan home visite di siklus keperawatan keluarga.

Tetiba aku teringat dengan sebuah scene yang terjadi puluhan tahun lampau

***

“Nak, jadilah perawat yang ramah. Jangan judes-judes ya ke pasien. Kalau sekiranya pasiennya sudah tua, seusia ibu, panggillah dia “Ibu” seperti kamu memanggil ibu. Kalau dia seusia Papa, panggillah dia “Pak”. Jangan berkomunikasi dengan orang tua tanpa embel-embel di belakangnya. Itu tidak sopan.”

Itu adalah nasehat Nenek kepada tanteku, seorang pelajar SPK (Sekolah Pendidikan Keperawatan) di Kota Bukittinggi, duluuuuuu sekali, ketika aku masih berusia 4 entah 5 tahun. Ketika itu aku masih sering pulang kampung ke rumah nenek. Keluarga kami bangga sekali tante bisa masuk sekolah keperawatan, tidak banyak yang bisa lulus seleksi masuk sekolah tersebut ketika itu.

Aku yang masih sangat kecil merekam dengan baik nasehat nenek, aku juga menyimak dengan baik setiap pengalaman praktik rumah sakit tante yang selalu dia bagi setiap kali pulang ke rumah.

“Ibu, tadi ada pasien bapak-bapak yang minta aku jadi menantu 😂, karena katanya dia terharu telah dirawat dengan baik”, tante bercerita heboh. Momen kumpul keluarga menjadi lebih meriah setiap kali tante pulang kampung dan bercerita tentang pasien-pasiennya.

“Apakah semenyenangkan itu menjadi seorang perawat? Dielu-elukan pasien begitu ya?”, pikirku di dalam hati.

***

Aku tidak begitu paham apa itu profesi keperawatan, namun aku tahu kelak tante akan bekerja di rumah sakit, merawat orang sakit, memakai seragam putih-putih dengan mahkota putih di kepalanya.
Wah itu akan terlihat keren sekali. Tapi aku sepertinya tidak akan memilih sekolah itu. Tante hidup di asrama, dan sepertinya tinggal di asrama tidak enak, jauh dari keluarga, hanya bisa pulang sekali dalam sebulan. Aku tidak mau sekolah keperawatan, cita-cita ku saat itu adalah menjadi seorang dokter. Iya, hanya dokter!

***

Namun, bertahun-tahun kemudian, takdir mengantarkanku pada profesi yang sejak kecil kusimak kisahnya, kurekam nasehat-nasehat tentangnya.
Membuatku sejenak terdiam dan mengambil kesimpulan ,”Allah sudah mempersiapkan aku sejak kecil untuk menjadi seorang perawat… Iya, menjadi seorang perawat, bukan dokter.

Saat ini, tante bekerja sebagai abdi negara, menjadi perawat di salah satu Puskesmas di Tanjung Pinang. Strata pendidikan beliau sudah naik dari SPK menjadi D3 Keperawatan. Berkali-kali tante ingin mencoba sekolah lagi menjadi S1, namun pekerjaan dan kebutuhan anak-anak akan dirinya membuat dia harus menyimpan dulu rencana lanjut sekolah.

“Ani sekarang sudah lebih hebat dari tante. Ante hanya D3, Ani sudah akan jadi spesialis. Ante yakin Ani akan menjadi perawat yang membanggakan.***

Aku tidak tahu jalan kisah seperti apa yang akan Allah goreskan tentangku dan profesi keperawatan. Namun apapun itu, menjadi orang yang bermanfaat dengan segala keilmuan yang kupunya adalah sebuah keharusan. Bukan hanya semata-mata menjadikannya profesi sebagai mata pencaharian saja.

About ainicahayamata

Nursing Lecturer who falling in love with words and Arts| Blogger | Maternity Nursing Specialist Candidate | twitter: @aini_cahayamata| Belajar Mengendalikan kata dalam tulisan|
This entry was posted in Cuap-Cuap Aini. Bookmark the permalink.

1 Response to Time Lapse

  1. Pingback: Euforia | Zona CahayaMata

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.